Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Eksekutif Daerah Papua, sebagai organisasi lingkungan hidup yang terus berjuang membela hak masyarakat dan Sumber Daya Alam di Tanah Papua, hingga saat ini masih menagih janji pemerintah tentang Norma Standart Prosedur dan Kriteria (NSPK), sebagai pedoman, dalam pengelolaan hutan berkelanjutan di Tanah Papua. Sejak terbitnya Perdasus 21 Tahun 2008, tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua, Perdasus tersebut sampai saat ini belum secara optimal di implementasi karena tersandung kebijakan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria pengelolaan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal Perdasus ini mengatur hak atas hutan dan hak atas pengelolaannya demi memberi kesejahteraan bagi orang Papua sebagai pemilik hutan yang sah.
Disaat masyarakat adat Papua menemui jalan buntu untuk dapat mengelola dan memanfaatkan hutannya sendiri, justru pemerintah baik pusat (KLHK) maupun daerah (Dinas Kehutanan) memberikan ijin pengelolaan hutan milik orang Papua kepada investor besar yang bukan orang asli Papua. Hal ini ditandai dengan massifnya pemanfaatan hasil hutan kayu yang secara sepihak di ekploitasi oleh pengusaha non Papua, yang banyak terjadi secara ilegal, dan terkadang atas dukungan oknum pejabat daerah. Ekspansi industri ekstraktif melalui investasi yang didukung oleh pemerintah pusat dan daerah di bidang Kehutanan, terus menguasai lahan-lahan serta hutan masyarakat adat (OAP) dipandang hanya sebagai komoditi, tanpa ada jaminan terhadap ruang kelola masyarakat adat berdasar kekayaan dan pengetahuan lokal/kearifan lokal orang asli Papua.
Dalam beberapa kasus, konflik yang terjadi antara masyarakat adat diakibatkan oleh korporasi atas kerjasama dengan pemerintah, karena keduanya berambisi – lebih mengutamakan investasi tanpa menghargai struktur kekerabatan yang merupakan nilai dan norma budaya orang asli Papua. Baik pemerintah, maupun korporasi keduanya telah menghancurkan kehidupan dan masa depan, masyarakat adat Papua. Hal ini sudah terjadi sejak awal integrasi Papua ke dalam Indonesia hingga saat ini. Sebagai respon – bukti terhadap pernyataan ini dapat dilihat dari kehadiran Freeport di bumi Amungsa; perusahaan negara (BUMN), PTPN di bidang perkebunan kelapa sawit, yang memulai operasinya dengan penipuan dan penyerobotan terhadap lahan masyarakat adat Arso di Keerom. Praktik-praktek seperti ini masih terus terjadi di sebagian daerah di Tanah Papua dengan melibatkan perusahaan swasta atas kerjasama dengan pemerintah.
Dalam era pemerintahan Presiden Joko Widodo yang katanya sangat memberikan perhatian besar untuk melakukan perubahan di Papua, justru dinilai tidak didasarkan pada kebutuhan orang asli Papua. Cerita “BURUK”, di atas tidak satupun yang tersentuh penyelesaiannya. Sebaliknya presiden dengan massif mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang turut mereduksi kewenangan provinsi Papua yang diatur dalam Undang-Undang No.21, Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Tanah Papua). Kebijakan yang tentunya melanggar aturan. Walau terlihat melanggar, namun pelaksanaan Pemerintah Pusat ini terus digenjot pelaksanaannya dengan pandangan akan memberikan kesejahteraan bagi rakyat Papua. Pandangan ini memberi makna, seakan masyarakat adat Papua, tidak mampu/ bodoh. Argumentasi pemerintah selalu bertumpu pada soal keuangan (Dana Otsus) yang diberikan ke pemerintah provinsi Papua. Sementara pengelolaan sumber daya alam tidak diberi ruang bagi rakyat Papua dan cenderung terjadi perampasan, ujar Aiesh Rumbekwan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Eksekutif Daerah Papua.
Narasi diatas adalah sebagian dari kejahatan korporasi, dan inkonsisten pemerintah terhadap penyelesaian pelanggaran HAM dan pemajuannya, termasuk akses pengelolaan Sumber Daya Alam.
Melihat ke 61 orang yang mengatasnamakan masyarakat Papua dengan menyebut diri mereka “Tokoh Papua”, Walhi Papua ingin menyampaikan dan menegaskan bahwa semua poin yang diusulkan mestinya berkaca dari berbagai persoalan yang diuraikan diatas dan yang tidak tersentuh penyelesaiannya, dan bukan mengusulkan hal-hal baru yang mereduksi kebutuhan masyarakat yang mendasar (substantif), demi kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu.
Menyandang gelar ‘Tokoh Masyarakat’ bukan hanya berlangsung sesaat. Tokoh masyarakat merupakan tokoh yang sejatinya hadir dan selalu ada ditengah-tengah masyarakat dalam suka dan duka. Mereka menjadi fasilitator, sumber inspirasi dan motor penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat secara adil dan bijaksana.
Sebagaimana dikenal dan diketahui bahwa Tanah Papua memiliki kekayaan alam yang melimpah. Namun angka kemiskinan tertinggi di Indonesia, Papua peringkat pertama (2018 & 2019). Dari hasil riset Walhi Papua dan beberapa lembaga, menunjukan bahwa Masyarakat adat sekitar hutan tidak memiliki akses kelola karena hutan telah tergantikan dengan perkebunan sawit skala besar yang tidak berkontribusi pada kebutuhan pangan, disamping menimbulkan marjinalisasi serta upaya bekerja keras untuk membeli beras dan kebutuhan lainnya karena hutan sebagai penyedia sumber kehidupan telah tiada.
Para tokoh yang menyebut diri Tokoh Papua seharusnya hadir untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM yang tidak pernah terselesaikan dengan baik dan bijaksana oleh pemerintah. Di berbagai media beredar dan berkembang informasi tentang situasi/kehidupan masyarakat yang menuntut penyelesaian pelanggaran HAM oleh berbagai pihak, baik di Papua maupun di Nasional. Walhi Papua berulang kali telah menyampaikan kondisi masyarakat adat Papua dan Sumber Daya Alam Papua yang terus mengalami ancaman, begitu pula ada begitu banyak masyarakat adat yang tergusur dari ruang hidupnya. Hal inilah yang sesungguhnya menjadi catatan para tokoh ikut menyelesaikan, tegas Aiesh Rumbekwan.
Walhi Papua ingin mengingatkan bahwa apa yang di sampaikan Para Tokoh sesungghnya jauh dari sesuatu yang urgen. Persoalan lingkungan hidup adalah persolan mendasar yang tidak terlepas dari tanggung jawab ke 61 tokoh yang mengatasnamakan masyarakat Papua. Ada begitu banyak kerusakan lingkungan yang mengakibatkan bencana ekologis, pencemaran lingkungan, dan hilangnya daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ini harus menjadi mandat sebagai seorang tokoh guna memberi rasa aman kepada rakyatnya
Menghadapi perubahan iklim global, Walhi Papua ingin mengingatkan bahwa semua usulan yang disampaikan para tokoh tidak satupun menjadi langkah mitigasi dan adaptasi ancaman perubahan iklim. Walhi Papua menegaskan bahwa kenaikan muka air laut akan berdampak terhadap mereka yang hidup di daerah pesisir. Lebih lanjut pemanasan global akan memicu kekeringan, kelangkaan air, kelaparan dan sakit penyakit. Para tokoh harus ikut terlibat untuk menahan suhu bumi agar tidak melebihi 1,5 derajad celsius, sehingga dapat mencegah ancaman kekeringan dll yang telah disebutkan diatas.
Ada begitu banyak kasus di Papua yang belum terselesaikan, karenanya Walhi Papua berharap Presiden harus lebih mengutamakan dan menyelesaikan masalah mendasar rakyat Papua, yakni pelanggaran HAM berat, persoalan lingkungan hidup dalam menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global serta perlindungan hutan alam, sebagai sesuatu yang urgen yang dapat menyelamatkan masyarakat adat Papua.
Karenanya Walhi Papua dan Organisasi Masyarakat Sipil di Tanah Papua, menegaskan…
- Kepada para Tokoh yang mengatasnamakan masyarakat Papua dengan menyebut diri Tokoh Papua, untuk segera mengkaji kembali usulan yang sudah disampaikan kepada Presiden dan mengarusutmakan hal-hal mendasar termasuk menyikapi perubahan iklim dan pemanasan global yang saat ini sedang terjadi.
- Bahwa negara segera hadir menyelesaikan persoalan HAM di Tanah Papua, termasuk memberi akses kelola sumber daya alam (hutan), kepada masyarakat.
- Bahwa pemerintah segera menghentikan ijin ekspansi indutri ekstraktif yang telah mengorbankan Orang Asli Papua (OAP) dan perampasan tanah tanpa ada penyelesaian secara bijaksana.
- Bahwa Pemerintah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, DPRP dan DPRPB, MRP dan MRPB, segera membangun komunikasi politik dengan mengarusutamakan penyelesaian berbagai persoalan termasuk meminta dengan tegas kepada pemerintah pusat agar segera menghentikan intervensi kebijakan nasional di Papua yang berpotensi mereduksi pelaksanaan UU Otsus dan aturan pelaksanaannya (Perdasus dan Perdasi).
- Bahwa pemerintah pusat segera menghentikan untuk menerima kepentingan kelompok atau individu-individu tertentu tanpa melalui kesepakatan Orang Asli Papua dan pemerintah daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, DPRP dan DPRPB, serta MRP dan MRPB.
- Bahwa kepada para tokoh yang menyebut diri sebagai Tokoh Papua, Kami mengajak membuka mata dan melihat hal-hal mendasar termasuk proteksi masyarakat adat Papua dari tindakan – perlakuan rasis dan persoalan pelanggaran ham sebagai upaya menyelesaikan akar masalah di Tanah Papua, dan bukan mengedepankan hal-hal yang jauh dari kebutuhan masyarakat adat Papua yang cenderung menimbulkan konflik, tanpa ada niat baik untuk mengehentikan jatuhnya korban jiwa Orang Asli Papua diatas tanahnya.
Jayapura, 15 09 2019
-
-
-
- Walhi Papua
- Sekretariat Forum Kerjasama LSM di Tanah Papua
- Yayasan PUSAKA
- YALI Papua
- YPMD Papua
- JERAT Papua
- JangRampasT – Papua
- 8. KiPRa Papua
-
-
Narahubung:
-
-
-
-
-
-
- Aiesh Rumbekwan (081344524394)
- Abner Mansai, Ar (0811481566)
-
-
-
-
-