IMMER Jayapura Papua Dorong Mahasiswa Sikapi Situasi Lingkungan di Merauke

0
42
IMER menggelar diskusi di Halaman Asrama Maro Putra, Jln. Padang Bulan, Heram, Kota Jayapura, Papua pada Selasa (23/4/2024) sore hingga malam

JAYAPURA, WALHI PAPUA – Ikatan Mahasiswa Merauke atau IMMER di Jayapura Papua menggelar diskusi bertajuk Peran Mahasiswa dalam Melestarikan Lingkungan Hidup. Diskusi tersebut hendak mengajak mahasiswa menyikapi situasi lingkungan di Merauke dan Papua Selatan pada umumnya.

Koordinator Biro Pendidikan dan Penalaran, Fidelis Kaize yang juga menjadi moderator pada diskusi itu mengatakan mahasiswa harus menyadari asal usulnya dan mendiskusikan masalah-masalah daerahnya sebagai agen intelektual. Kaize mengatakan, di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan saat ini semakin banyak perusahaan yang masuk yang perlahan membuat orang asli Merauke dan Papua Selatan menjadi tamu diatas tanahnya sendiri

Diskusi berlangsung di Halaman Asrama Maro Putra, Padang Bulan, Heram, Kota Jayapura, Papua pada Selasa (23/4/2024) sore hingga malam. Hadir sebagai narasumber dalam diskusi tersebut Orpa Novita Yosua, Relawan Greenpeace Indonesia Base Jayapura; Maikel Primus Peuki, Direktur Wahana Lingkungan Hidup wilayah Papua; dan Emanuel Gobay Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua.

Kaize mengatakan, perusahaan kelapa sawit seperti PT Indo Asiana Lestari atau IAL di Boven Digoel, hanyalah satu contoh dari banyak perusahan sawit berskala besar beroperasi di Papua Selatan.

“Dengan masuknya beberapa perusahan itu kami mahasiswa merasa perlu melakukan kegiatan ini, kemudian kami menghadirkan Relawan Greenpeace Indonesia Base Jayapura, LBH Papua, dan Walhi Papua. Hasil diskusi ini diharapkan mahasiswa menyadari dan ambil tindakan terhadap ancaman lingkungan pada umumnya di Papua,” ujar Kaize mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih itu.

Relawan Greenpeace Indonesia Base Jayapura Orpa Novita Yosua, dalam diskusinya mengatakan, kondisi lingkungan saat ini di Papua ditandai dengan terjadinya deforestasi yang menambah buruk masalah perubahan iklim.

Satu ancaman lingkungan yang luar biasa, kata Novita terjadi pada teman-teman suku Awyu di Boven Digoel akibat kehadiran PT Indo Asiana Lestari atau IAL. Ia mengajak mahasiswa untuk turut menyikapi perjuangan advokasi hukum orang-orang tua dan pemuda suku Awyu melawan PT. IAL.

“Peran mahasiswa adalah agen perubahan, hingga apa yang sudah ditinggalkan oleh orang tua, hingga kita sebagai agen perubahan harus memperjuangkan itu,” katanya.

Perempuan asal Genyem itu berpesan, sebagai mahasiswa harus melakukan sesuatu memulai dari diri kita sendiri, melakukan gerakan bersih di lingkungan, gelar penanaman pohon di kawasan bermukim, karena hal-hal kecil itu bagian tak terlepas dari menjaga lingkungan dari ancaman deforestasi.

“Saya berharap kedepan kita melanjutkan diskusi, kita bisa bercerita tentang apa yang terjadi di Papua Selatan, lalu apa yang harus kita buat, agar generasi  bisa melihat jejak kita,” ujarnya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup di Papua Maikel Primus Peuki dalam materinya mengatakan, kebijakan pemerintah kadang tidak sesuai dengan konteks orang Papua atau masyarakat adat. Saat masyarakat adat  belum mempunyai sumber daya manusia yang kuat mereka sudah dipaksa untuk pemekaran, kata Peuki.

“Sejak 2015 Papua telah kehilangan hutan puluhan ribu hektar, sebagian besar di tanah Animha, kepala burung di Sorong, Merauke, hingga Jayapura sudah sebagian,” ujarnya.

Peuki mengatakan, hutan Papua telah banyak hilang dan berubah fungsi akibat aktivitas perusahaan, yang menyebabkan pengeseran hutan, masyarakat adat, termasuk kampung-kampung adat.

“Peran pemuda harus meneliti, memantau lingkungan, kemudian melalui satu tulisan di publikasikan, itu adalah satu peran pemuda di masa muda,” katanya.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Papua Emanuel Gobay dalam diskusi itu mengatakan, perusahaan-perusahan yang mengambil sumber daya alam di Papua seringkali tidak sesuai dengan aturan yang ada di UU Dasar 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, juga UU otonomi khusus yang mengakui tentang hak-hak masyarakat adat.

“Tapi dalam praktek pemerintah tidak pernah menerapkan cara yang baik terhadap masyarakat, padahal dalam Otsus menyebut ketika masuknya perusahaan pemerintah wajib menjadi mediator, pemerintah di posisi memediasi perusahaan dan masyaraka ,” katanya. (*)

Sumber: Jubi.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here