Walhi Papua dan Lepemawi Dampingi Masyarakat Terdampak Kelapa Sawit di Kiyura dan Iwaka

1
65
Walhi Papua dan Lepemawi mendampingi perwakilan masyarakat adat Kiyura dan Iwaka menyusun rekomensasi dan rencana tindak lanjut - Dok

WALHI PAPUA — Selama dua hari, mulai 27 Juli 2024, Walhi Papua dan Lepemawi memberikan pelatihan kepada perwakilan warga Kiyura dan Iwaka yang terdampak perkebunan kelapa sawit.

Jaqualine Johana Kafiar dari AMAN mendiskusikan topik hak atas tanah adalah hak asasi manusia, Adolfina Kuum dari Walhi menyampaikan materi kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan. Sementara Kores Rumbiak Walhi Papua mendampingi masyarakat menyusun rekomendasi dan rencana tindak lanjut.

Selama dua hari masyarakat terdampak mencurahkan keluh kesah dan unek-uneknya sejak perusahaan kelapa sawit beroperasi di wilayah adat mereka.

Untuk diketahui, mula-mula pemegang HGU seluas sekitar 36 ribu hektar di Iwaka dan Kiyura adalah PT PAL. Perusahaan ini kemudian dinyatakan pailit pada Oktober 2021.

Melalui proses lelang, PT Karya Bella Vita (KBV) dinyatakan menang dan berhak melanjutkan pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Jalan Trans Nabire itu.

Adolfina Kuum dalam rilis tertulisnya mengatakan, pelatihan tersebut sebagai penguatan masyarakat adat untuk memperjuangkan hak-hak atas tanahnya dan merespon rusaknya lingkungan sebagai dampak hadirnya perusahaan kelapa sawit.

“Ada banyak cerita bagaimana masyarakat adat Suku Kamoro di Kiyura dan Iwaka merasakan kehadiran perusahaan kelapa sawit telah merusak setiap tiang kehidupan dan sumber hidup mereka. Masyarakat selama ini diam dan menyaksikan banyak tawaran-tawaran manipulatif yang dimainkan oleh perusahaan. Itu sebabnya penguatan lewat pelatihan ini penting,” katanya.

Masyarakat mengaku, dibanding sebelum perusahaan kelapa sawit beroperasi, saat ini lebih sering terjadi banjir. Bahkan, dampaknya mulai terasa sampai ke kampung-kampung bagian bawah, Mioko misalnya.

Apalagi saat ini lahan yang telah di-land clearing dan ditanami kelapa sawit baru sekitar 20 persen dari total HGU.

Paling dikhawatirkan masyarakat, makin menipisnya sumber air bersih. Kelapa sawit memang dikenal butuh air lebih banyak.

Kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan sengaja dihadirkan sebagai topik diskusi selain sebagai perlawanan terhadap budaya patriarki juga karena fakta bahwa perempuan dan anak menjadi kelompok paling rentan dari rusaknya lingkungan.

“Ketika sumber-sumber air bersih makin menipis dan jauh bahkan hilang, kelompok perempuanlah yang paling terdampak. Sementara dalam pengambilan keputusan di ranah publik, suara perempuan seringkali dinomorduakan, padahal merekalah nanti yang paling merasakan dampak dari rusaknya lingkungan karena perkebunan kelapa sawit ini,” jelas Adolfina.

Kosmologi sungai, sampan dan sagu, menurutnya jadi gambaran hidup Suku Kamoro yang hidup harmonis dengan alamnya. Kerusakan hutan dan sungai-sungai jelas jadi ancaman bagi keberlangsungan hidupnya.

Di hari kedua, diskusi difokuskan pada penyusunan rekomendasi dan rencana tindak lanjut.

Bagi Adolfina, pelatihan dan diskusi selama dua hari itu paling tidak bisa memberikan gambaran dan penegasan bahwa ke depan masyarakat adat di Kiyura dan Iwaka harus lebih jeli ketika berhadapan dengan pihak perusahaan kelapa sawit. Bahwa lahan yang ditanami kelapa sawit itu adalah tanah adat, tanah ulayat, hak kesulungan masyarakat Kiyura dan Iwaka.

“Catatan penting dari pertemuan ini bahwa lembaga adat perlu diperkuat. Kita perlu pemetaan, kita perlu Perkam dan Perda yang mengakui dan melindungi masyarakat dan tanah adatnya. Ini demi menyelamatkan Suku Amungme  dan Kamoro,  khususnya masyarakat adat di Kiyura dan Iwaka. Perjuangan masih panjang, makanya kita menyusun rencana tindak lanjut setelah kegiatan ini,” kata Adolfina. (*)

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here