Oleh Direktur Walhi Papua, Maikel Primus Peuki
Dalam visi dan misi pemerintahan Presiden Joko Widodo, salah satu program yang dicanangkan adalah penyediaan makanan bergizi gratis (MBG) di seluruh Indonesia. Namun, program ini perlu dikritisi, khususnya dalam konteks Papua. Pendekatan pemberian makanan bergizi gratis ini tampaknya mengabaikan dimensi sosial, budaya, dan ekonomi yang lebih mendalam yang mempengaruhi masyarakat di wilayah tersebut. Ada beberapa alasan mengapa program ini dapat dianggap mengabaikan akar masalah yang lebih besar, terutama dalam konteks Papua yang kaya akan keberagaman budaya dan menghadapi tantangan sosial yang kompleks.
1. Ketimpangan dalam Distribusi Program
Pemerataan distribusi makanan bergizi gratis di Papua tampaknya tidak adil. Beberapa daerah di Papua, termasuk yang memiliki tingkat keterisolasian tinggi, menunjukkan ketidakpuasan terhadap program ini. Bahkan, ada beberapa pelajar yang melakukan demonstrasi menuntut pendidikan gratis, alih-alih meminta makanan bergizi. Hal ini menunjukkan kesadaran mereka akan pentingnya pendidikan sebagai hak dasar yang harus diperoleh, yang seharusnya menjadi perhatian utama bagi pemerintah.
2. Ketergantungan pada Bantuan Eksternal
Program MBG berisiko menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap bantuan eksternal. Daripada membangun kemandirian masyarakat Papua dalam memenuhi kebutuhan gizi mereka, program ini justru bisa menghambat upaya pemberdayaan lokal. Jika masyarakat terus bergantung pada bantuan tanpa adanya pendidikan dan peningkatan kapasitas, mereka tidak akan belajar untuk mengelola kebutuhan gizi secara mandiri. Ini justru dapat memperburuk masalah kemiskinan dan ketergantungan sosial yang sudah ada.
3. Mengabaikan Pola Makan Tradisional
Masyarakat Papua memiliki pola makan yang sangat terhubung dengan budaya mereka, seperti konsumsi ikan, sagu, dan sayuran lokal. Makanan bergizi yang diberikan melalui program ini mungkin tidak sesuai dengan pola makan tradisional tersebut. Ketidaksesuaian ini berisiko menyebabkan penolakan terhadap makanan yang disalurkan, atau setidaknya, membuat masyarakat merasa tidak nyaman dengan rasa dan cara penyajian makanan tersebut. Ini juga menunjukkan bahwa program ini kurang memahami pentingnya mempertahankan budaya pangan lokal yang sudah ada.
4. Ketidaksesuaian Sistem Pangan Tradisional dan Modern
Sistem pangan tradisional di Papua sangat bergantung pada sumber daya lokal, seperti sagu, ikan, dan hasil hutan. Namun, bantuan yang diberikan sering kali mengabaikan sistem pangan tradisional ini dan menggantikannya dengan produk yang lebih bergantung pada sistem pasokan pangan modern. Perbedaan ini dapat menyebabkan ketidakcocokan antara kebiasaan masyarakat dalam mengelola pangan dan pola makan yang disarankan oleh program MBG, sehingga mengurangi efektivitas program tersebut.
5. Kesulitan Akses dan Distribusi di Wilayah Terpencil
Papua adalah wilayah yang memiliki banyak daerah terpencil dengan akses terbatas terhadap infrastruktur yang memadai. Hal ini menyebabkan distribusi makanan bergizi gratis sering kali tidak efisien atau bahkan tidak dapat dijangkau oleh masyarakat di daerah paling terisolasi. Masalah sosial dan budaya yang dihadapi masyarakat Papua seringkali berkaitan dengan kesulitan geografis dan aksesibilitas terhadap layanan dasar, termasuk layanan pangan. Program ini seharusnya mempertimbangkan kondisi geografis dan infrastruktur yang terbatas.
Makanan Bergizi Gratis: Solusi Sementara yang Tidak Menyentuh Akar Masalah
Meskipun program MBG dapat memberikan manfaat dalam jangka pendek, program ini tidak menyelesaikan akar masalah yang lebih mendalam di Papua, yaitu ketergantungan sosial, ketidaksetaraan ekonomi, dan kurangnya pemberdayaan masyarakat. Agar masalah-masalah ini dapat diatasi secara berkelanjutan, dibutuhkan pendekatan yang lebih holistik. Pendekatan ini harus melibatkan pendidikan gizi yang tepat, pemberdayaan ekonomi lokal, serta penghargaan terhadap budaya dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam.
Program MBG harus dilihat sebagai bagian dari solusi, bukan sebagai solusi tunggal. Untuk menciptakan perubahan yang nyata, penting untuk membangun sistem yang mengintegrasikan kebutuhan gizi dengan pelestarian budaya, peningkatan kapasitas masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi lokal yang berkelanjutan. (*)