Masyarakat Kaureh-Yapsi Palang PT Sinar Mas Karena 32 Tahun Tidak Mengubris Mereka

0
44
Empat Kali Demo, Masyarakat Adat Yapsi dan Kaureh Tuntut CEO PT Sinarmas Hadir Langsung di Lapangan - Dok Walhi Papua

WALHI PAPUA – Masyarakat adat pemilik hak ulayat di Distrik Kaureh dan Yapsi, Kabupaten Jayapura, Provinsi Papua, kembali melakukan aksi pemalangan terhadap aktivitas perusahaan sawit PT Sinar Mas II, Jumat (7/11/2025).

Aksi tersebut merupakan puncak kekecewaan masyarakat setelah 32 tahun hak ulayat mereka tak kunjung diselesaikan sejak perusahaan mulai beroperasi pada 1994.

Aksi yang dipimpin Koordinator Lapangan Absalom Urumban itu diikuti ratusan warga adat dengan membentangkan baliho tuntutan di depan kantor perusahaan.

Dalam pernyataan sikapnya, masyarakat menegaskan bahwa hak ulayat dan keberadaan masyarakat adat dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 18B ayat (2), Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 serta UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Ketua Dewan Adat Suku (DAS) Oktim, Nimbrot Yamle, menuturkan persoalan bermula sejak pembukaan lahan pada 2 September 1994.

Kala itu masyarakat mengikuti prosesi adat berupa pemotongan pita, namun perusahaan dan pemerintah tidak memberikan penjelasan mengenai hak-hak masyarakat.

“Perusahaan mulai jalan dua sampai tiga minggu, lalu masyarakat marah dan palang pada 12 September 1994 karena tak ada kejelasan,” ujar Nimbrot.

Ia menjelaskan, setelah dilakukan pelepasan tanah pada 23 September 1994, masyarakat hanya menerima kompensasi sebesar Rp134 juta. Namun dalam surat pelepasan disebutkan bahwa jika terjadi sengketa, tanggung jawab ada di pihak perusahaan.

“Sampai hari ini, siapa yang ubah tanah adat jadi tanah negara? Kami sudah 32 tahun menunggu kejelasan. Negara harus akui dan hormati hak masyarakat adat,” tegasnya.

Nimbrot menegaskan, pemalangan tidak akan dibuka sebelum ada jawaban resmi dari pihak perusahaan.

“Kami sudah terlalu lama sabar. Ini aksi damai, bukan konfrontasi. Tapi palang tak akan dibuka sebelum hak-hak kami diakui,” katanya.

Ia juga menuntut perusahaan agar segera menunaikan kewajiban plasma 20 persen untuk masyarakat dari total lahan 42.000 hektare, di mana sekitar 22.000 hektare telah ditebang dan 15.700 hektare sudah ditanami sawit.

DAS Oktim mencatat, aksi serupa telah terjadi pada 2008, 2012 dan 2014, namun hingga kini belum ada solusi konkret. Masyarakat menilai perusahaan maupun pemerintah daerah belum menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan persoalan hak ulayat dan pembagian plasma.

Menanggapi hal itu, Regional Controller PT Sinar Mas II, Zadrak Afasedanya, menegaskan perusahaan tetap berkomitmen menjalankan program plasma. Namun, ia mengakui adanya kendala teknis terkait status kawasan hutan di sekitar perkebunan.

“Kebun kita ini dikelilingi kawasan hutan produksi, hutan produksi terbatas, dan hutan konversi. Kalau statusnya belum berubah, kami tak bisa langsung tanam sawit,” jelas Zadrak.

Ia menambahkan, perubahan status kawasan menjadi hal penting agar pemerintah pusat dapat mendukung percepatan plasma.

“Apalagi di DPRK Jayapura sudah dibentuk Pansus Kelapa Sawit, itu langkah baik yang kami dukung. Plasma harus dijalankan melalui koperasi masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi D DPRK Jayapura, Seblom Dwaa, yang turut hadir dalam aksi tersebut, menyampaikan dukungan terhadap perjuangan masyarakat adat Kaureh–Yapsi.

“Saya yakin, keluhan masyarakat ini lahir dari komunikasi yang selama ini tersumbat. Perusahaan harus mau merangkul masyarakat pemilik hak,” kata Seblom.

Ia juga mendesak bupati dan wakil bupati Jayapura segera turun ke lapangan untuk memfasilitasi dialog dan memastikan hak-hak masyarakat adat dihormati.

Hingga berita ini diturunkan, aksi pemalangan di areal PT Sinar Mas II masih berlangsung. Masyarakat menegaskan tidak akan mundur sebelum ada kesepakatan resmi antara perusahaan, pemerintah daerah dan pemilik ulayat.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here