Empat Kali Demo, Masyarakat Adat Yapsi dan Kaureh Tuntut CEO PT Sinarmas Hadir Langsung di Lapangan

0
35
Empat Kali Demo, Masyarakat Adat Yapsi dan Kaureh Tuntut CEO PT Sinarmas Hadir Langsung di Lapangan - Dok Walhi Papua

WALHI PAPUA — Masyarakat adat dari Distrik Yapsi dan Kaureh, Kabupaten Jayapura, kembali menggelar aksi demonstrasi di depan pabrik pengolahan minyak kelapa sawit milik PT Sinar Kencana Inti Perkasa, perusahaan yang berafiliasi dengan PT Sinarmas Group, di Lereh. Aksi ini merupakan yang keempat kalinya dilakukan sejak awal tahun 2025.

Dalam aksi tersebut, masyarakat adat menuntut agar CEO PT Sinarmas hadir langsung menemui mereka untuk menjelaskan berbagai persoalan yang belum terselesaikan selama lebih dari tiga dekade.

Tuntutan Utama: HGU dan Kebun Plasma

Masyarakat adat menyoroti penerbitan ratusan sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) di atas tanah adat tanpa melalui kesepakatan dengan pemilik hak ulayat. Mereka juga menagih realisasi 20 persen kebun plasma dari total luas lahan perkebunan sawit yang dijanjikan perusahaan sejak awal kemitraan.

“Kami tidak menolak investasi. Kami hanya menuntut hak kami yang dijanjikan sejak lama. Jangan sampai tanah kami diambil tanpa kejelasan,” ujar Robertus Urumban, Koordinator Dewan Adat Suku Oktim Wilayah IV, dikutip dari Nabire News (6 November 2025).

Robertus juga menegaskan bahwa masyarakat telah bersabar selama 30 tahun menunggu penyelesaian hak ulayat dan janji plasma, namun hingga kini belum ada hasil konkret.

Tiga Dekade Menunggu, Tak Ada Kepastian

Menurut laporan Jurnal Mamberamo Foja, masyarakat adat Kaureh–Yapsi telah menunggu lebih dari tiga dekade agar perusahaan menunaikan kewajiban pembayaran hak ulayat, termasuk ganti rugi atas kayu bernilai tinggi seperti kayu besi, lenggua, cempaka, dan kayu putih.

Sementara itu, Nimbrot Yamle, perwakilan masyarakat Sub-DAS Kaureh, menyebutkan bahwa meski perusahaan pernah menyalurkan bantuan sosial seperti pembangunan gereja, beasiswa, dan perbaikan jalan, hal itu tidak dapat dianggap sebagai pengganti tanggung jawab terhadap hak ulayat masyarakat adat (Jelajah Papua, 7 November 2025).

“CSR itu bukan pembayaran hak ulayat. Itu tanggung jawab sosial, bukan kompensasi atas tanah adat kami,” tegas Nimbrot.

Aksi Lanjutan dan Sikap Tegas Masyarakat

Dalam pernyataan yang diunggah melalui laman Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jayapura, masyarakat adat menyatakan akan menghentikan sementara seluruh aktivitas operasional perusahaan apabila tidak ada tanggapan serius dari pihak manajemen.

“Masyarakat sudah bosan dijanjikan. Mulai Jumat, 7 November 2025, kami akan hentikan seluruh aktivitas perusahaan sampai ada pertemuan resmi dengan CEO PT Sinarmas,” tulis pernyataan AMAN Jayapura.

Beberapa unggahan di media sosial juga menunjukkan aksi massa di pintu masuk pabrik di Lereh, dengan spanduk bertuliskan “Kami ingin bertemu CEO, bukan perwakilan perusahaan.”

Belum Ada Tanggapan Resmi

Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT Sinar Kencana Inti Perkasa maupun dari pemerintah Kabupaten Jayapura terkait tuntutan masyarakat adat.

Dalam laporan Nabire News, masyarakat mengaku sering “dipingpong” antara perusahaan dan pemerintah daerah. “Perusahaan suruh kami ke pemerintah, pemerintah bilang urusan perusahaan. Kami jadi bingung,” kata Robertus Urumban.

Konteks Lebih Luas: Konflik Agraria di Tanah Papua

Konflik lahan perkebunan kelapa sawit di wilayah adat Papua bukan hanya terjadi di Jayapura. Di berbagai daerah lain, masyarakat adat juga menghadapi persoalan serupa terkait penerbitan HGU tanpa persetujuan pemilik ulayat dan janji kebun plasma yang tak kunjung terealisasi.

Para pemerhati lingkungan dan hak masyarakat adat menilai, penyelesaian konflik agraria di Papua harus dilakukan dengan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), agar hak-hak masyarakat adat diakui dan dihormati dalam setiap investasi yang masuk ke tanah Papua.

Aksi demonstrasi empat kali berturut-turut oleh masyarakat adat Yapsi dan Kaureh menegaskan bahwa konflik lahan antara warga adat dan perusahaan sawit belum menemukan jalan tengah. Mereka menegaskan akan terus memperjuangkan hak ulayat dan menuntut keterbukaan perusahaan hingga ada kejelasan hukum serta realisasi janji plasma bagi masyarakat.

“Kami akan terus berdiri di depan gerbang sampai pimpinan tertinggi datang. Kami bukan minta belas kasihan, kami minta keadilan,” — Perwakilan Masyarakat Adat Kaureh, dalam aksi di Lereh.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here