Presiden Joko Widodo di dalam COP 21 UNFCCC di Paris telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 % dengan business as usual pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan internasional, sebagaimana kemudian yang dituangkan dalam NDC. Kita juga tentu ingat, bahwa Presiden pada bulan Mei 2015 menerbitkan Inpres No. 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.
Di Papua, meskipun sudah ada kebijakan penundaan/moratorium pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan dan lahan gambut, kenyataannya dalam periode moratorium tersebut di Tanah Papua, tetap saja terjadi ekspansi industri ekstraktif yang cukup tinggi terutama perkebunan kelapa sawit. Secara kasat mata, ini bisa dilihat dari pembukaan lahan baru oleh perusahaan sawit yang umumnya terjadi di kawasan hutan alam primer dalam rentang waktu 2012 sampai 2015, dan menyebar di berbagai wilayah di seluruh Tanah Papua. Bahwa tingginya ekspansi sawit di seluruh Tanah Papua menandai tidak adanya konsistensi dan kepatuhan pemerintah baik pusat maupun daerah menjalankan kebijakan yang bahkan dikeluarkan oleh pemerintah sendiri.
Dikeluarkannya izin baru oleh pemerintah kepada industri ekstraktif terutama perkebunan kelapa sawit dan pertambangan dalam periode penundaan/moratorium, dianggap merupakan bentuk konspirasi politik ekonomi antara korporasi dan pemerintah dengan dalil peningkatan perekomonian yang mengatasnamakan masyarakat adalah sesuatu yang prematur karena tidak ada kenyataannya, bila belajar dari pengalaman yang ada, contoh apa yang terjadi antara PTPN II dengan masyarakat adat Arso di Keerom. Hal ini ditambah pula dengan keluarnya PP No. 13/2017 tentang Perubahan atas PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, dinilai sebagai inkosistensi terhadap komitmen Indonesia di dunia internasional, karena secara regulasi kebijakan ini mengikat pemeritah daerah, untuk ikut mengamankan kebijakan nasional dengan pemberian izin-izin di berbagai sektor kepada korporasi di Tanah Papua. Perubahan RTRW ini juga memicu berbagai konflik diberbagai daerah, yang kemudian memberikan peluang terjadinya kriminalisasi kepada masyarakat adat yang mempertahankan hak atas tanah dan kekayaan alam.
WALHI Papua bersama dengan Foker LSM Papua dalam konferensi pers yang dilaksanakan pada bulan Mei 2017 lalu mendesak agar Presiden Joko Widodo segera mengeluarkan dan memperkuat kebijakan moratorium bagi izin-izin, mereview izin-izin yang bermasalah dan penegakan hukum terhadap korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan. WALHI Papua dan Foker LSM Papua Papua juga merekomendasikan: (1), Meminta pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat, agar menghentikan pemberian rekomendasi bagi perusahaan/industri ekstraktif yang ingin berinvestasi/melakukan ekspansi di seluruh Tanah Papua karena pengalaman menunjukan bahwa kehadiran mereka tidak memberikan keuntungan apapun bagi masyarakat adat pemilik tanah dan kekayaan alam, sebaliknya membabat habis potensi hutan yang menyebabkan degradasi dan deforestasi yang semakin tinggi, menimbulkan konflik berkepanjangan bagi masyarakat adat, dan bersekongkol dengan aparat negara melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) bahkan menghilangkan nyawa orang tidak bersalah. (2), Meminta kepada Gubernur Provinsi Papua dan Papua Barat, serta seluruh Bupati/Walikota agar melakukan upaya nyata melalui regulasi daerah dalam rangka penyelamatan manusia dan hutan Papua serta membangun kemitraan strategis dengan masyarakat bagi pengelolaan hutan berkelanjutan di Tanah Papua ke depan. (3), Meminta kepada Gubernur provinsi Papua bersama instansi teknis terkait, dan parapihak, untuk mendesak pemerintah pusat, terutama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) dalam rangka implementasi Perdasus No.21/2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjuutan di Provinsi Papua yang lebih konkrit dalam mengakui hak masyarakat adat atas hutan di Papua dan sejalan dengan konteks budaya manusia Papua demi pengelolaan hutan yang lebih adil dan berkelanjutan, sekaligus dapat mengurangi degradasi dan deforestasi hutan yang semakin tinggi di Papua. (4), Meminta kepada Gubernur provinsi Papua Barat beserta instansi teknis terkait untuk segera menghasilkan Perdasus sebagai pelaksana UU Otsus dalam kaitan dengan pengelolaan hutan berkelanjutan di Provinsi Papua Barat, untuk menjamin hak-hak masyarakat adat atas hutan di provinsi Papua Barat.