“Presiden Republik Indonesia segera Bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus Pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah Sesuai UU No 26 Tahun 2000”
Pada prinsipnya Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah sebagaimana diatur pada pasal 28i ayat (4) UUD 1945 junto Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Secara khusus dalam rangka penegakan hukum bagi Kasus Pelanggaran HAM telah diberlakukan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian secara hukum sudah tidak ada lagi dalil yang dapat digunakan bagi Negara melalui pemerintah untuk mengabaikan pemenuhan hak atas keadilan bagi warga Negara yang menjadi korban pelanggaran HAM Berat.
Dalam rangka menjalankan komitmen diatas, secara khusus telah diatur dalam ketentuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua. Untuk melaksanakannya, Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada BAB XII, Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua. Berkaitan dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia telah ada UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang dapat dijadikan rujukan untuk pembentukan pengadilan HAM di Papua namun sampai dengan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua akan berakhir ini Negara melalui pemerintah belum mampu membentuk pengadilan HAM di Papua.
Diatas ketidakmampuan Negara melalui pemerintah membentuk pengadilan HAM di Papua kasus wasior berdarah yang terjadi pada tanggal 13 Juni 2001 menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM Berat yang menjadi korban terabaikannya pemenuhan hak atas keadilan oleh Negara melalui pemerintah mengunakan mekanisme pengadilan ham sebagaimana diatur UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia akibat Negara melalui pemerintah tidak mampu mengimplementasikan pada pasal Pasal 45 ayat (2), UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua.
Melalui kondisi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah yang telah menunggu pemenuhan hak atas keadilan dari Negara melalui pemerintah mengunakan mekanisme UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia selama 20 tahun tanpa kejelasan apapun secara langsung menunjukan bahwa Negara melalui pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menjadikan UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propisni Papua dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai alat legal untuk memberikan hak atas keadilan bagi korban pelanggaran HAM Berat Wasior Berdarah.