Bencana ekologis dari tahun ke tahun selalu terjadi di Indonesia. Banjir, longsor, kekeringan, dan kabut asap dari kebakaran hutan dan rawa gambut silih berganti mengintai dan mengisi hari-hari warga di penjuru Nusantara. Seakan tidak pernah mengambil pelajaran dari setiap krisis ekologis, sosial dan budaya, negara masih bertahan dengan paradigma pertumbuhan ekonomi berbasis industri ekstraktif dan pembangunan berisiko tinggi, yang mengancam keselamatan serta produktifitas rakyat, dan keseimbangan ekologis. Kekayaan alam terus dikeruk, dieksploitasi tanpa pernah menghitung biaya eksternalitas yang terpaksa harus dikeluarkan oleh warga.
Dalam konteks kabut asap yang lebih dari seperempat abad lamanya berlangsung, seolah kita terus berkutat pada persoa- lan yang sama, tanpa transformasi struktural atas akar masalah yang terjadi. Pertama, pemberian konsesi industri ekstraktif serta perkebunan monokultur (seperti kelapa sawit dan perkebunan kayu pulp) skala luas yang merusak keseimbangan ekologis dan mencemari lingkungan hidup. Kedua, kurangnya penegakan hukum yang menimbulkan efek jera terhadap pelaku kejahatan korporasi yang selama bertahun-tahun menikma- ti impunitas negara. Ketiga, minimnya pengakuan negara ter- hadap wilayah kelola rakyat beserta model-model kelolanya, yang terbukti berhasil mempertahankan keseimbangan ekologis dan memberi manfaat bagi penghidupan warga.