WALHI Papua: Kampung Adat Terancam, Warga Tak Sadar Lahan Mereka Sudah Masuk Konsesi

0
3
Tampak seorang warga masyarakat adat di kampungnya - Dok

WALHI PAPUA — Direktur Eksekutif WALHI Papua, Maikel Peuki, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas makin meluasnya ancaman terhadap kampung-kampung adat di Papua akibat masuknya izin konsesi skala besar, seperti Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP), tanpa sepengetahuan masyarakat adat pemilik wilayah.

Hal itu disampaikan Maikel usai melakukan kunjungan langsung ke sejumlah kampung adat di wilayah Papua. Dalam kunjungan tersebut, ia berdialog dengan para tetua adat dan mendengar langsung keresahan mereka, meskipun sebagian besar warga belum sepenuhnya mengetahui bahwa hutan dan tanah adat mereka telah masuk dalam peta konsesi perusahaan.

“Banyak orang tua adat yang belum tahu wilayah mereka sudah dikapling oleh izin-izin konsesi. Mereka tetap hidup seperti biasa, padahal tanah mereka telah dirampas secara administratif,” kata Maikel Peuki di Jayapura, Rabu (12/6).

Maikel menyebut kondisi ini sangat memprihatinkan karena masyarakat adat tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunan dokumen-dokumen perizinan seperti RTRW, KLHS, AMDAL, hingga Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) yang mengatur pembangunan di Papua.

“Mereka sebagai pemilik sah wilayah adat justru disingkirkan dari meja perencanaan. Tidak ada ruang partisipatif, bahkan tidak ada sosialisasi. Ini bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan ekologis dan hak masyarakat adat,” tegasnya.

WALHI Papua mencatat bahwa jutaan hektare hutan adat di Papua kini sudah atau tengah diincar oleh berbagai perusahaan besar yang bergerak di sektor pertambangan, migas, kehutanan, dan perkebunan sawit. Di antaranya mencakup wilayah Timika, Degeuwo, Korowai, Bintuni, Sorong, Keerom, Nabire, Merauke, Boven Digoel, hingga Raja Ampat.

Meski investasi besar-besaran terus berjalan, menurut Maikel, dampak positifnya terhadap kehidupan masyarakat adat nyaris tidak terasa. Data BPS mencatat, pertumbuhan ekonomi Papua hanya mencapai 3,19 persen dan sebagian besar provinsi di Papua masih tergolong termiskin di Indonesia.

“Ada yang salah dalam tata kelola. SDA dihisap habis, tapi rakyat adat tetap miskin. Infrastruktur amburadul, pendidikan dan kesehatan terbengkalai, sementara investor terus panen keuntungan,” tambahnya.

Maikel juga menyoroti dampak sosial dan budaya dari ekspansi industri di tanah Papua. Ia menyebut, invasi terhadap tanah adat menyebabkan retaknya tatanan sosial masyarakat, punahnya bahasa lokal, hingga hilangnya identitas suku dan marga Papua.

“Ini bukan hanya soal ekonomi, ini krisis peradaban. Kita sedang menyaksikan pelan-pelan matinya budaya dan eksistensi Orang Asli Papua,” katanya.

Untuk itu, WALHI Papua mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk menghentikan seluruh proses perizinan baru di atas wilayah adat, meninjau ulang izin-izin yang telah keluar, dan segera mengembalikan hak pengelolaan kepada masyarakat adat.

Sebagai solusi jangka panjang, Maikel menyerukan pentingnya dialog adat secara terbuka, seperti melalui musyawarah “para-para adat” yang menurutnya harus menjadi forum tertinggi dalam mengambil keputusan menyangkut masa depan Tanah Papua.

“Kami menyerukan Pepera ulang di para-para adat Papua. Suara rakyat adat harus jadi dasar kebijakan pembangunan, bukan logika investasi rakus,” tutupnya.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here