Siaran Pers: Walhi Papua Menolak 481.000 Hektare Hutan Papua Dijadikan Kawasan Pangan Nasional

0
255
Maikel Peuki Direktur Walhi Papua - Dok Walhi Papua

SIARAN PERS

WALHI PAPUA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua mengecam keras pernyataan Menteri Koordinator Pangan, Zulkifli Hasan, yang mengungkapkan bahwa 481.000 hektare hutan di Papua telah disiapkan untuk dijadikan kawasan swasembada pangan, air, dan energi nasional.

Pernyataan tersebut disampaikan Zulhas usai rapat koordinasi yang dihadiri Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni. Dalam keterangannya, pemerintah menargetkan total 1 juta hektare lahan di Papua akan disiapkan untuk program ini, dimulai dari wilayah Wanam, Merauke, dengan penyelesaian administrasi seperti perubahan tata ruang dan Hak Guna Usaha (HGU).

“Ada sekitar 481.000 hektare area hutan di Papua yang sudah siap untuk dimanfaatkan sebagai kawasan pangan. Pemerintah akan menuntaskan perizinan, tata ruang, dan HGU dalam waktu dekat,” kata Zulhas, seperti dikutip Bisnis.com (16/9/2025).

WALHI Papua: “Tanah Papua Bukan Tanah Kosong”

Direktur WALHI Papua, Maikel Peuki, menilai pernyataan ini berbahaya karena mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan risiko ekologis dari pembukaan hutan dalam skala masif.

“Tanah Papua bukan tanah kosong. Ada pemiliknya, ada sejarahnya, dan ada hukum adat yang mengatur pengelolaan hutan. Mengubah fungsi 481.000 hektare hutan tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan (FPIC) dari masyarakat adat adalah bentuk perampasan ruang hidup,” tegas Maikel.

Menurut WALHI Papua, kebijakan yang dilakukan tanpa dialog berpotensi memicu konflik agraria, mempercepat krisis iklim, dan menghancurkan sistem pangan lokal yang sudah ada.

Data Deforestasi Papua 2023–2024: Fakta yang Mengkhawatirkan

WALHI Papua mengingatkan bahwa Papua saat ini sedang menghadapi ancaman deforestasi serius:

  • Deforestasi 2022–2023: Lebih dari 552 ribu hektare hutan hilang di Papua, atau sekitar 70% dari total deforestasi nasional.
  • Deforestasi 2023: Tanah Papua kehilangan 55.981 hektare hutan alam, dengan Papua Selatan sebagai penyumbang terbesar (12.640 hektare).
  • Deforestasi Jan–Feb 2024: Pusat Pemantauan Pusaka mencatat 765,71 hektare hutan hilang hanya dalam dua bulan pertama 2024.
  • Tren 30 Tahun: Sejak 1992–2022, Papua kehilangan tutupan hutan primer ± 688 ribu hektare.

Kondisi ini membuat WALHI Papua mempertanyakan urgensi pembukaan hutan baru untuk pangan nasional, sementara data menunjukkan kerusakan hutan terus meningkat dan belum ada evaluasi menyeluruh terhadap dampaknya.

Risiko Sosial-Ekologis dari Proyek Pangan

WALHI Papua menilai konversi hutan skala besar seperti ini akan menimbulkan:

  1. Kehilangan Sumber Pangan Lokal – masyarakat adat menggantungkan hidup pada sagu, hasil hutan, dan perikanan tradisional.
  2. Konflik Agraria – tanpa persetujuan masyarakat adat, proyek akan memicu konflik horizontal maupun vertikal.
  3. Kerusakan Ekosistem – Merauke dan kawasan hutan Papua adalah habitat satwa endemik seperti kasuari, kanguru pohon, dan cendrawasih.
  4. Krisis Iklim – hilangnya hutan primer akan meningkatkan emisi karbon dan memperburuk perubahan iklim global.

Dasar Hukum: Negara Wajib Lindungi Hak Adat

WALHI Papua menegaskan bahwa pemerintah harus mematuhi:

  1. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 – negara mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
  2. UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua – menjamin perlindungan hak ulayat.
  3. Prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) – diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat adat dari perampasan tanah.

“Pemerintah pusat wajib melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan AMDAL secara transparan, serta memastikan keterlibatan masyarakat adat dari awal. Jangan sampai kebijakan ini menjadi babak baru perampasan tanah adat di Papua,” tegas Maikel.

Seruan WALHI Papua

  1. Hentikan rencana pembukaan 481.000 ha hutan adat sampai ada proses partisipatif yang sah.
  2. Publikasikan peta spasial dan status lahan agar masyarakat mengetahui lokasi yang akan dikonversi.
  3. Libatkan masyarakat adat secara penuh melalui mekanisme FPIC sebelum ada kebijakan pembangunan di wilayah adat.
  4. Evaluasi proyek pangan skala besar yang sudah ada, seperti di Merauke, untuk mengukur dampak sosial-lingkungan sebelum menambah luasan baru.

Ajakan untuk Publik dan Pemerintah Daerah

WALHI Papua mengajak media, akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah daerah untuk bersama-sama mengawal kebijakan ini agar hutan Papua tetap lestari dan hak masyarakat adat tidak dilanggar.

“Kita tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan harus berkeadilan, menghormati hak adat, dan menjaga kelestarian hutan sebagai penyangga kehidupan,” tutup Maikel.

Kontak Media:
WALHI Papua
Email: walhipapua@proton.me
Telepon: +62 822 4800 0233

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here