Serangkaian proyek yang disebut “Food Estate Program” baru-baru ini diumumkan pemerintah Indonesia. Informasi terbatas yang didapat dari pemerintah Indonesia mengindikasikan adanya tiga usulan proyek “food estate” yang keseluruhan membutuhkan total lahan sekitar 770.000 hektar di Kalimantan Tengah, 2 juta hektar di Papua dan 32.000 hektar di Sumatra Utara. Selain itu sejumlah rencana serupa lainnya di Sumatra Selatan dan Kalimantan Timur dan daerah lainnya juga telah diumumkan. Lahan untuk proyek-proyek ini akan melenyapkan hutan dari “hutan permanen” bagi peruntukkan lainnya (tersirat akan terjadinya deforestasi) dengan luas 630.000 hektar di Kalimatan Tengah, 1,3 juta hektar di Papua dan seluruh proyek di Sumatra Utara (32.000 hektar). Namun angka-angka ini hampir tidak berindikasi karena data yang resmi bertentangan dengan data resmi yang diliris baru-baru ini. Oleh karena dampak ekonomi dari Covid-19, kebutuhan untuk meningkatkan investasi di Indonesia dan meningkatnya krisis pangan, maka pemerintah Indonesia mengutamakan pembangunan "mega proyek Food Estate" dengan mengijinkan penebangan dan pembukaan lahan hutan yang luas. Proyek ini akan menawarkan keuntungan yang bagai durian runtuh dari hasil penjualan kayu, penanaman sawit dan komoditas tanaman ekspor lainnya di lahan yang dibuka. Sejarah proyek serupa di masa lalu menunjukkan bahwa rencana ini akan sangat sedikit menjamin pangan sehat bagi penduduk setempat. Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) pernah dilakukan tahun 1996 di Kalimantan dan proyek lain yang lebih baru yaitu Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua. Keduanya sedikit sekali berkaitan dengan pemenuhan pangan di Indonesia namun semuanya berperan untuk memperkaya segelintir orang yang korup. PLG menyebabkan bencana iklim global oleh karena besarnya emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari konversi lahan dan pembakaran gambut. Mengingat kesalahan di masa lalu dan mencermati kurangnya tindakan pencegahan maka wajarlah untuk menyangsikan “Program Food Estate” akan berhasil mengatasi kebutuhan pangan dan sebaliknya akan menghasilkan perampasan lahan skala luas oleh perusahaan yang tertarik pada tanaman ekspor, penggusuran masyarakat setempat dari tanah dan mata pencahariannya. Meskipun bantuan pasca Covid sangat dibutuhkan, namun hal itu harus berdasarkan pada kebutuhan manusia. Spekulasi dan perampasan tanah hanya akan memperburuk krisis pangan dan dampak pandemi. Keputusan memberikan lahan luas bagi agrobisnis raksasa untuk produksi komoditas ekspor juga melanggar legislasi Indonesia dan internasional yang menjamin hak-hak masyarakat lokal atas tanah adat mereka. Bank, agen pembangunan dan institusi lainnya kemungkinan besar akan menerima permintaan untuk mendukung satu atau lebih proyek-proyek Food Estate sebagai bantuan pasca Covid. Mereka hendaknya tidak mendukung proyek yang merusak integritas ekosistem dan melanggar hakhak masyarakat adat dan penduduk setempat atas tanah tradisi mereka dan melakukan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC) atas setiap penggunaan tanah mereka.