Walhi Harap Anak Muda Papua Sadar Masalah Kerusakan Lingkungan

0
21
Hutan Mangrove di Hamadi, Jayapura - Dok Walhi Papua

WALHI PAPUA — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Papua berharap anak-anak muda Papua bisa sadar adanya masalah kerusakan lingkungan di daerah masing-masing.

Selain itu, bisa menjadi anak muda Papua yang peduli akan masalah lingkungan dan memposisikan diri dalam melihat kondisi lingkungan khususnya di Tanah papua. Hal itu disampaikan Staf Kampanye dan Riset WALHI Papua, Elias Ndiwgen di Jayapura, Provinsi Papua pada Kamis (01/02/2024).

“Bisa menjadi penggerak positif yang bergerak menyuarakan isu lingkungan, dan kami Walhi juga akan terus bergerak dalam menyuarakan pengerusakan lingkungan. Garda terdepan adalah kita sebagai anak muda, sadar akan masalah lingkungan, sadar akan ekologi dan berani mengambil sikap,” katanya.

“Semua anak muda bisa menjadi garda terdepan ketika ada investasi-investasi atau perusahan-perusahan yang masuk kemudian merusak lingkungan atau alam papua mereka jadi orang pertama yang bicara,” sambungnya.

Elias juga mengatakan anak-anak muda Papua di seluruh Tanah Papua bahkan yang masih merantau dan sudah pulang kembali ke kampung masing-masing, bisa menjadi orang pertama yang bicara saat ada perusahan yang mau berinvestasi.

Anak muda itu yang menolak tidak tunggu orang lain untuk bicara melainkan dia yang berdiri dan berbicara untuk menolak perusahan yang hanya dapat merusak lingkungan bahkan hutan yang ada di daerahnya.

“Dan harus banyak belajar dan paham terkait kerusakan lingkungan atau paham terkait investasi-investasi yang masuk ke kampung atau wilayahnya, bagaimana menginvestigasi suatu persoalan. Karena perusahan ada yang masuk dengan janji mulut tapi juga ada yang janji di atas kertas,”katanya

Ia juga mengatakan, jika berbicara dampak pengerusakan, banyak perusahan yang beroperasi di Papua kemudian memberikan dampak kerusakan lingkungan bagi masyarakat dari yang dikelola secara legal bahkan yang ilegal keduanya sama-sama merusak.

Contohnya kasus dari PT Selaras Inti Semesta, perusahan dari Medco Grup. Dampak dari operasi perusahaan tersebut itu nyata yakni deforestasi di Kampung Zenegi dan Kampung Kaliki Kabupaten Merauke.

“Terjadi penggundulan hutan untuk melakukan kegiatan dan penebangan pohon ulang tapi tidak dimanfaatkan lahan tersebut dengan baik atau dibiarkan tidak ada perawatan, hal itu yang harus diperhatikan sebagai anak muda tidak hanya melihat tapi kita menyuarakan hal-hal seperti itu,” katanya.

Elias juga mengatakan, sebuah perusahan masuk ke suatu wilayah perlu memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan atau AMDAL dengan baik. Ketika ada persetujuan dari masyarakat adat dan komponen-komponen yang terlibat aktif dalam masyarakat itu diajak bicara, untuk melihat untung rugi dari masuknya perusahan tersebut.

Ia melanjutkan, tidak hanya asal menganalisis untuk menguntungkan korporasi atau suatu perusahan, dan tidak untuk menambah pajak kepada pemerintah tapi juga mempertimbangkan masyarakat-masyarakat yang berada di lokasi sekitar.

“Kalau hanya sekadar menebang hutan kemudian tidak menanam pohon dan biarkan begitu saja, dampaknya seperti kebakaran, kekeringan air. Wilayah yang dulunya jadi daerah penampungan air namun karena pinggirnya sudah mulai ditebang semua, kemudian ditanami pohon yang berjarak-jarak juga tidak terawat dan terurus, sering terbakar, akhirnya tempat penampungan air menjadi berkurang. Untuk itu saya bilang kita sebagai anak muda banyak belajar supaya bantu orang tua kita yang kurang paham, kita punya peran yang penting untuk melihat dampak dari suatu perusahan yang berinvestasi di wilayah kita masing-masing,” katanya

Banyak perusahan yang beroperasi di wilayah Papua seperti PT PNM di Lembah Grime yang merupakan perusahan sawit, PT. Bella Vita yang beroperasi di Timika dan perusahan kayu di Merauke, perusahan tambang, perusahaan emas dan perusahan batu bara.

Ketika perusahan ini masuk, tidak memiliki AMDAL, hingga menyebabkan hutan digusur seluas-luasnya, kemudian kawasan yang dulunya hutan masyarakat dianggap sebagai penyangga kehidupan, akhirnya rusak.

“Jadi yang pertama itu ada AMDAL, ketika hutan digusur kemudian kawasan yang dulunya hutan masyarakat adat sebagai penyangga kehidupan masyarakat, namun tidak dilakukan dengan baik akhirnya banyak terjadi kerusakan lingkungan yang berdampak pada pencemaran air dari bahan kimia yang terdapat di kelapa sawit. Dan air tersebut tidak bisa diminum dan dulunya masyarakat bilang tempat penampungan air alami seperti rawa bisa bertahan sampai 2-3 bulan sekarang hanya bertahan 1-2 hari saja sudah kering,” ujar Elias.

Elias mengatakan perusahan-perusahan tersebut tidak hanya menimbulkan dampak pengerusakan hutan, namun juga menimbulkan dampak sosial. Perusahan menciptakan pro kontra antara masyarakat pemilik hak ulayat sehingga terjadi konflik. Tidak ada komunikasi yang baik antara pihak perusahaan dan masyarakat bahkan cenderung direkayasa, kemudian terjadilah perdebatan di masyarakat itu sendiri.

“Perusahan hanya hadir untuk menciptakan ketakutan dan tekanan ketika masyarakat tidak mau perusahaan itu nanti diintimidasi dari aparat keamanan kepada masyarakat dan bisa dijadikan musuh. Peristiwa-peristiwa seperti ini membuat perpecahan kehidupan masyarakat yang dulunya akur dan damai, Perusahaan hanya menciptakan konflik sosial kemudian pelepas tangan tidak bertanggung jawab. Cara-cara seperti itu seharusnya sudah berhenti,” katanya.

Ia berharap, sejumlah anak muda di Papua harus jadi anak muda yang peduli dan punya pemahaman yang baik terkait isu pengerusakan lingkungan dan bagaimana menjaganya dari orang yang tidak bertanggung jawab.

“Karena Papua merupakan benteng terakhir atau hutan terakhir di Indonesia, yang lain semua sudah rusak oleh pertambangan, kelapa sawit dan batu bara yang membuat lubang-lubang dimana-mana membuat tandus hutan, kebakaran besar sudah banyak terjadi dan lain sebagainya. Untuk itu kita harus berusaha untuk melindungi,” katanya. (*)

Sumber: JUBI

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here